Sektor pertanian sebagai sektor yang menopang kebutuhan pangan memiliki tantangan cukup kompleks selama masa dan pasca pandemi yaitu bagaimana memenuhi pasokan makanan secara aman, berkelanjutan, dan merata. Penerapan social/physical distancing atau pembatasan mobilitas di beberapa wilayah telah berdampak serius pada rantai pasok pangan. Karakter rantai pasok pangan di Indonesia yaitu wilayah produsen berada di desa-desa dan mayoritas permintaan terkonsentrasi di daerah-daerah urban atau kota/kabupaten padat penduduk.
Di samping itu, hal yang perlu menjadi sorotan lainnya adalah adanya pembatasan mobilitas mendisrupsi pengiriman dan pendistribusian pangan antarprovinsi hingga antarpulau terlebih sentra produsen pangan berada di Jawa. Adanya pembatasan mobilitas tersebut secara tidak langsung menciptakan pola permintaan baru di masyarakat. Sejak kemunculan kasus positif Covid-19 di Indonesia pada awal Maret 2020, panic buying melanda beberapa kota besar. Meski panic buying telah mereda, pola konsumen saat ini lebih menyukai berbelanja dengan stok banyak untuk jangka waktu tertentu.
Ironisnya, meski panic buying terjadi, nasib petani sebagai produsen cenderung makin buram. Jam operasional pasar yang lebih pendek, warung hingga hotel dan restoran yang tutup, tidak mampu menyerap hasil produksi yang melimpah. Fenomena ini memberi tekanan yang semakin besar pada kelangsungan rantai pasok pangan. Di satu sisi stok pangan harus tersedia dalam jumlah besar untuk antisipasi memenuhi panic buying, di sisi lain banyak petani merugi karena hasil panen tidak terserap.
Berdasarkan hasil asesmen cepat yang dilakukan oleh Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) terhadap keamanan sistem pangan, ketahanan, dan risiko yang muncul akibat Covid-19 di negara-negara Indo-Pasifik mengungkapkan bahwa pengangkutan produk pertanian di Indonesia dari daerah perdesaan ke pasar perkotaan telah banyak terdisrupsi. Hal ini diperburuk oleh terbatasnya kapasitas fasilitas penyimpanan dingin di area produksi yang menyebabkan hilangnya pangan yang mudah rusak (food losses).
Pola permintaan pada kurun waktu terakhir menunjukkan perubahan dari etalase offline menuju online. Meski saat ini telah memasuki transisi menuju new normal dan gerai perbelanjaan lambat laun mulai dibuka, pola permintaan atau belanja online diprediksi akan bertahan dalam jangka waktu yang lama. Oleh sebab itu, para pelaku rantai pasok terutama petani, pengusaha logistik, dan jasa pengiriman mau tidak mau harus mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan pola tersebut.
Di sinilah resiliensi rantai pasok diuji. Perubahan pola konsumsi akan berdampak besar pada ketahanan pangan di masa depan. Ada perbedaan antara jumlah dan jenis pangan yang diinginkan dan dibutuhkan terhadap ketersediaan produk. Ada ketimpangan antara sisi permintaan dan suplai. Rantai pasok pangan cenderung khas dibanding rantai pasok produk dan jasa lainnya.
Kekhasan yang mendasar pada rantai pasok pangan yaitu perubahan yang terus menerus dan signifikan terhadap kualitas produk pangan di seluruh rantai pasok hingga pada titik akhir produk tersebut dikonsumsi. Sebut saja pengiriman ikan tuna dari Maluku ke Jakarta, apabila tidak dilakukan penanganan produk yang tepat pada seluruh rantai pasok maka ikan tuna dapat rusak bahkan sebelum sampai ke konsumen akhir.
Karakteristik jalur rantai pasok konvensional atau offline cenderung panjang yaitu dari petani, pelaku logistik seperti gudang, lalu ke pengepul, pasar, warung kemudian berakhir ke konsumen. Adanya pola permintaan online menjadikan rantai pasok lebih pendek yaitu umumnya dari petani, pelaku logistik, langsung ke konsumen oleh jasa pengiriman.
Kendati rantai pasok menjadi lebih pendek, namun hal yang perlu menjadi perhatian adalah penanganan produk yang tepat terutama pada bahan makanan yang cepat mudah rusak seperti daging dan ikan. Penanganan produk yang tidak tepat dapat meningkatkan potensi kehilangan pangan. Terlebih dengan masih diterapkannya pembatasan mobilitas sehingga ada kemungkinan delay dalam pengiriman, maka rantai pasok menjadi semakin rentan terdisrupsi yang semuanya bermuara pada hilangnya pendapatan hingga mengguncang isu ketahanan pangan.
Langkah Preventif
Awal Juni ini dunia dikejutkan dengan rilis dari WHO tentang munculnya wabah ebola gelombang kedua di Kongo. Kasus gelombang baru serupa juga pernah terjadi saat pandemi Flu Spanyol muncul pada 1918. Kabar buruknya, pertengahan Mei lalu ditemukan kasus positif Covid-19 di China dan Korea Selatan yang menjadi kekhawatiran soal munculnya gelombang kedua Covid-19. Tanpa mendahului takdir, kita perlu bersiap dengan potensi terburuk gelombang kedua Covid-19 merebak di Indonesia.
Kita perlu mengambil langkah preventif sedini dan seoptimal mungkin utamanya dalam menjaga ketahanan pangan. Prioritas pertama yang dapat dilakukan yaitu menjaga para pelaku di seluruh rantai pasok untuk beroperasi dengan aman dan sehat demi meminimalkan risiko transmisi Covid-19, salah satunya penyediaan alat pelindung diri yang memadai sehingga jalur logistik bebas dari virus.
Pelaku rantai pasok terutama pelaku distribusi juga sangat perlu untuk memperbaiki penanganan produk (handling management) khususnya produk pangan yang mudah rusak dalam jangka waktu singkat seperti sayuran hijau, daging ayam, dan ikan. Selanjutnya yaitu mengakomodasi pola permintaan masyarakat yang mayoritas beralih ke online. Kehadiran e-commerce memberikan peluang solusi bagi banyaknya pasar tradisional yang tutup serta UMKM yang belum optimal memasarkan produk secara online.
Sebuah kelompok petani milenial di Kawasan Merbabu, Jawa Tengah terbilang sukses dalam memasarkan produk pertanian mereka melalui Instagram dan mendistribusikannya lewat agen tiap wilayah yang mereka miliki. Menurut penuturan sang inisiator, penjualan produk selama pandemi Covid-19 naik hingga 400%.
Pemerintah tentu berperan penting dalam menjembatani para pedagang pasar tradisional dan pelaku UMKM untuk dapat terhubung dengan dunia digital semacam ini lebih optimal. Keterbukaan dan integrasi data potensi pangan antarkoridor bahkan provinsi sangat diperlukan untuk memperbaiki peta jalur distribusi berdasar supply and demand terkini. Hal ini juga akan membantu dalam memetakan daerah mana yang rentan terhadap kerawanan pangan.
Terlebih prediksi musim kemarau yang lebih kering yang dimulai pada Juni ini di daerah sentra produksi pertanian, khususnya Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan Bali berpotensi memunculkan masalah defisit stok. Ketahanan pangan berperan dalam menyediakan nutrisi yang diperlukan bagi tubuh utamanya dalam meningkatkan imunitas. Maka dari itu, terguncangnya ketahanan pangan secara tidak langsung akan menghambat upaya percepatan penanganan Covid-19.
Lebih lanjut, apabila tidak diantisipasi secara serius maka implikasi jangka panjang dapat mengganggu stabilitas sosial dan ekonomi, juga aspek kehidupan lainnya. Demi menjaga ketahanan pangan diperlukan sinergi atas semua pihak apalagi tidak sebatas para pelaku rantai pasok. Terpenting, masing-masing individu harus senantiasa sadar bahwa pandemi Covid-19 dialami oleh seluruh masyarakat. Sehingga hal-hal yang berpotensi mengacaukan rantai pasok hingga mengguncang ketahanan pangan harus dihindari seperti contohnya tidak perlu menimbun bahan pokok dengan spekulasi suatu saat bisa dijual kembali saat harga melambung dan ketersediaan minim.
___
Sumber:
Dian Yuanita dalam Kolom detikNews
(https://m.detik.com/news/kolom/d-5066280/memperkuat-rantai-pasok-pangan?tag_from=wpm_cb_kolom_list)